Rabu, 30 April 2008

Tugas Instrumen Wawancara

1. MotiF dan Motivasi siswa dalam belajar?
untuk mengetahui motifasi belajar siswa, sebaiknya terlebih dahulu kita memperhatikan sejauhmana tingkat kerajinan atau prestasi belajarnya!
pertanyaan: apa motifasi anda dalam meningkatkan prestasi belajar?

2. Potensi Bawaan siswa dalam meraih kesuksesan dan kebahagiaan hidupnya?
Untuk mengetahui potensi bawaan siswa dalam meraih kesuksesannya, sebaiknya terlebih dahulu kita memperhatikan sifat/cara belajarnya, serta potensi/bakat/kemampuanya ketika belajar!
pertanyaan: bakat apa yang anda miliki, dan apakah anda merasa yakin bahwasanya kesuksesan dan masa depan anda bergantung dari bakat tersebut?

3. Pengaruh lingkungan belajar siswa?
Untuk mengetahui pengaruh lingkungan belajar siswa , sebaiknya kita terlebih mengetahui dimana tempat/lingkungannya berada!
Pertanyaan: apakah lingkungan yang ada di sekitar kita dapat mempengaruhi cara belajar?

4. Keunikan Pribadi Siswa?
Untuk mengetahui keunikan pribadi siswa, sebaiknya terlebih dahulu kita harus mengetahui kebiasaan-kebiasaan apa yang sering dilakukannya!
Pertanyaan: dilihat dari sisi mana manusia mempunyai keunikan?

TEORI BELAJAR ALTERNATIF KONSTRUKTIVISME

Teori Belajar Alternatif Konstruktivisme

Teori belajar konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain.Sehingga teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan, atau teknologi dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.

Hasil belajar bergantung pada pengalaman dan perspektif yang dipakai dalam interpretasi pribadi. Sebaliknya, fungsi pikiran menginterpretasi peristiwa, obyek, perspektif yang dipakai, sehingga makna hasil belajar bersifat individualistik. Suatu kegagalan dan kesuksesan dilihat sebagai beda interpretasi yang patut dihargai dan sukses belajar sangat ditentukan oleh kebebasan siswa melakukan pengaturan dari dalam diri siswa. Tujuan pembelajaran adalah belajar how to learn. Penyajian isi KBM fakta diinterpretasi untuk mengkonstruksikan pemahaman individu melalui interaksi sosial.

Untuk mendukung kualitas pembelajaran maka sumber belajar membutuhkan data primer, bahan manipulatif dengan penekanan pada proses penalaran dalam pengambilan kesimpulan. Sistematika evaluasi lebih menekankan pada penyusunan makna secara aktif, keterampilan intergratif dalam masalah nyata, menggali munculnya jawaban divergen dan pemecahan ganda. Evaluasi dilihat sebagai suatu bagian kegiatan belajar mengajar dengan penugasan untuk menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata sekaligus sebagai evaluasi proses untuk memecahkan masalah.

TEORI BELAJAR GESTALT

Teori Gestalt mendasarkan pada teori belajar pada psikologi Gestalt yang beranggapan bahwa setiap fenomena terdiri dari suatu kesatuan esensial yang melebihi jumlah unsur-unsurnya.

Bahwa keseluruhan itu lebih daripada bagian-bagiannya. Didalam peristiwa belajar, keseluruhan situasi belajar itu amat penting karena belajar merupakan interaksi antara subjek belajar dengan lingkungannya. Selanjutnya para ahli psikologi Gestalt tersebut menyimpulkan, seseorang dikatakan belajar bila ia memperoleh pemahaman (insight) dalam situasi problematis.

Pemahaman itu ditandai dengan adanya a) suatu perubahan yang tiba-tiba dari keadaan yang tak berdaya menjadi keadaan yang mampu menguasai atau memecahkan masalah (problem) b) adanya retensi c) adanya peristiwa transfer. Pemahaman yang diperoleh dari situasi, dibawa dan dimanfaatkan atau ditransfer ke dalam situasi lain yang mempunyai pola atau struktur yang sama atau hampir sama secara keseluruhannya (bukan detailnya).

TEORI BELAJAR KOGNITIF

A. Pandangan Tentang Belajar

Psikologi kognitif mengatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pada pandangan itu teori psikoloig kognitif memandang beljar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yakni pengolahan informasi.

ntisari dari teori belajar konstruktivisme adalah bahwa belajar merupakan proses penemuan (discovery) dan transformasi informasi kompleks yang berlangsung pada diri seseorang. Individu yang sedang belajar dipandang sebagai orang yang secara konstan memberikan informasi baru untuk dikonfirmasikan dengan prinsip yang telah dimiliki, kemudian merevisi prinsip tersebut apabila sudah tidak sesuai dengan informasi yang baru diperoleh . Agar siswa mampu melakukan kegiatan belajar, maka ia harus melibatkan diri secara aktif.

TEORI BELAJAR BEHAVIORISME

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK


Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).

Teori Behavioristik:

  1. Mementingkan faktor lingkungan

  2. Menekankan pada faktor bagian

  3. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.

  4. Sifatnya mekanis

  5. Mementingkan masa lalu


Senin, 21 April 2008

Havighurst: Tugas-tugas Perkembangan


Remaja dan Tugas Perkembangan
Masa remaja merupakan masa "belajar" untuk tumbuh dan berkembang dari anak menjadi dewasa. Masa belajar ini disertai dengan tugas-tugas, yang dalam istilah psikologi dikenal dengan istilah tugas perkembangan. Sama halnya dengan di sekolah, tugas perkembangan ini juga harus diselesaikan oleh seorang remaja dengan baik dan tepat waktu untuk dapat naik ke kelas berikutnya. Istilah tugas perkembangan digunakan untuk menggambarkan harapan masyarakat terhadap suatu individu untuk melaksanakan tugas tertentu pada masa usia tertentu sehingga individu itu dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat. Setiap fase perkembangan, yaitu sejak seorang bayi lahir, tumbuh menjadi dewasa sampai akhirnya mati, mempunyai tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Misalnya, balita berusia dua tahun diharapkan sudah dapat berbicara dan berkomunikasi secara sederhana dengan orang-orang di sekelilingnya. Hal yang sama juga berlaku bagi remaja. Tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh remaja tidak sedikit. Menurut Havighurst, tugas-tugas perkembangan seorang remaja adalah sebagai berikut : 1. Menerima keadaan fisik dirinya sendiri dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif. Walaupun kedengarannya sederhana dan mudah diucapkan, menerima keadaan fisik diri sendiri sering kali menjadi masalah yang cukup besar bagi remaja. Banyak di antara kita yang sulit menerima kenyataan bahwa kita berkulit gelap atau tidak setinggi dan selangsing teman sebaya. Perasaan tidak puas ini kemudian membuat kita selalu dilanda perasaan minder, sehingga malas bergaul apalagi pergi ke pesta. Perasaan ini menutupi kenyataan, misalnya bahwa kita sebetulnya punya sepasang mata yang indah. Untuk mengatasi hal ini, sebaiknya fokuskan perhatian ke kelebihan kita dan jadikan itu sebagai daya tarik. Selain itu, hilangkan dari pikiran apa yang selama ini selalu ditanamkan oleh lingkungan kita, bahwa cewek harus cantik, putih, tinggi, dan langsing untuk dapat disebut sebagai cewek sejati, sedangkan cowok harus berbadan kekar, berbulu, dan bersuara dalam untuk bisa dikatakan jantan. Karena, kalau kita memang enggak punya gen untuk dapat berpenampilan seperti itu, kita cuma jadi gelisah dan enggak puas diri selamanya, sehingga lupa bahwa kita punya banyak potensi diri. 2. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. Usaha untuk mencapai kemandirian emosional bisa membuat remaja melawan keinginan atau bertentangan pendapat dengan orangtuanya. Dengan ciri khas remaja yang penuh gejolak dan emosional, pertentangan pendapat ini sering kali membuat remaja menjadi pemberontak di rumah. Apabila masalah ini tidak terselesaikan, terutama apabila orangtua bersikap otoriter, remaja cenderung untuk mencari jalan keluar di luar rumah, yaitu dengan cara bergabung dengan teman-teman sebaya yang senasib. Sebetulnya, curhat dengan teman sebaya tidak ada salahnya, selama teman sebaya itu bisa membantu mendapatkan solusi yang baik. Namun, sering kali karena yang dihadapi adalah remaja seusia yang punya masalah yang kurang lebih sama dan sama-sama belum berhasil mengerjakan tugas perkembangan yang sama, bisa jadi solusi yang ditawarkan kurang bijaksana. Karena itu, kita perlu selalu ingat bahwa untuk melepaskan diri secara emosional dari orangtua pun, bisa dilakukan dengan meminta dukungan orangtua ataupun orang dewasa yang ada di sekitar kita. Tentunya bukan dengan cara meminta mereka untuk memecahkan masalah kita, tapi lebih kepada memahami keinginan kita untuk dipahami sebagai individu yang beranjak dewasa dan tidak ingin terlalu tergantung lagi kepada mereka. 3. Mencapai suatu hubungan dan pergaulan yang lebih matang antara lawan jenis yang sebaya. Sehingga, remaja akan mampu bergaul secara baik dengan kedua jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Kemampuan untuk mencapai tugas perkembangan ini juga dipengaruhi oleh banyaknya interaksi yang dialami seorang remaja dengan orang-orang dari kedua jenis kelamin. Tapi, hal ini sama sekali tidak berarti bahwa kalau kita sekolah di sekolah khusus cowok atau khusus cewek, kemampuan kita untuk bergaul secara matang dengan jenis kelamin lain akan terganggu. Karena di sekolah kan juga ada guru, petugas perpustakaan dan kebersihan dari jenis kelamin lain, dan kita juga berinteraksi dengan mereka. Selain itu, pergaulan tidak terbatas di sekolah saja. Ketika kita pulang, di rumah dan di lingkungan sekitar juga terdapat kenalan pria dan wanita. Jadi, temen-temen di SMU Tarakanita, SMU Pangudi Luhur, ataupun sekolah khusus lainnya, enggak perlu khawatir. Kemampuan untuk berinteraksi dengan seimbang itu hanya dapat terganggu apabila kita sendiri yang memang menciptakan batasan untuk bergaul. 4. Dapat menjalankan peran sosial maskulin dan feminin. Peran sosial yang dimaksud di sini adalah seperti yang diharapkan masyarakat, dan bergeser sesuai dengan peralihan zaman. Apabila pada zaman dahulu secara sosial dianggap baik bila laki-laki mencari nafkah di luar rumah sedangkan perempuan mengurus rumah tangga, dengan timbulnya kesadaran akan kesetaraan jender sekarang ini tidak harus demikian. Sehingga, yang paling penting untuk dipahami adalah sebagai anggota dari satu jenis kelamin, kita jangan sampai kemudian merasa berhak untuk mensubordinasi atau memperlakukan anggota jenis kelamin lain secara buruk atau semena-mena, baik di publik (masyarakat) maupun domestik (rumah tangga). 5. Berperilaku sosial yang bertanggung jawab. Idealnya, seseorang tentu diharapkan untuk berpartisipasi demi kebaikan atau perbaikan di lingkungan sosialnya, namun bila hal itu belum bisa dijalankan, minimal yang harus dilakukan adalah tidak menjadi beban bagi masyarakat atau lingkungan sosialnya. Karena itulah, remaja yang terlibat tawuran sampai menghancurkan fasilitas umum tentu tidak dapat dianggap telah melampaui tugas perkembangan yang satu ini dengan sukses. 6. Mempersiapkan diri untuk memiliki karier atau pekerjaan yang mempunyai konsekuensi ekonomi dan finansial. Setelah melepaskan diri dari ketergantungan emosional dengan orangtua atau orang dewasa lain, tugas yang menanti remaja adalah juga melepaskan diri dari ketergantungan finansial dari mereka. Karena itulah, belajar bekerja juga merupakan hal yang perlu dilakukan oleh remaja, betapapun kecil penghasilan yang diperoleh. Dengan demikian, diharapkan pada saatnya nanti kita bisa siap terjun dan bekerja di masyarakat. 7. Mempersiapkan perkawinan dan membentuk keluarga. Dengan dilaluinya tugas perkembangan yang telah disebutkan tadi yaitu yang berkaitan dengan kemampuan untuk bergaul dengan sesama maupun lawan jenis, diharapkan pergaulan ini akan dapat membawa ke langkah selanjutnya yaitu untuk memilih pasangan hidup yang sesuai dan mulai mempersiapkan diri membentuk keluarga. 8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku sesuai dengan norma yang ada di masyarakat. Keberhasilan remaja melaksanakan tugas perkembangan ini ditandai dengan, misalnya, kesuksesannya meredam serta mengendalikan gejolak emosi maupun seksualnya sehingga dapat hidup sesuai dengan norma dan etika yang berlaku. Untuk dapat memperoleh konsep diri yang memegang seperangkat nilai ini, remaja dapat memiliki role model atau seseorang yang dijadikan tokoh idola yang tingkah lakunya kemudian diteladani. Tugas-tugas perkembangan ini harus dicapai sebelum seorang remaja melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila remaja tadi gagal dalam memenuhi tugas perkembangannya secara tepat waktu, maka ia akan sulit untuk memenuhi tugas perkembangan fase selanjutnya. Atau, apabila ia gagal melaksanakan tugas perkembangannya pada waktu yang tepat, maka ia akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya di waktu yang lain, atau melaksanakan tugas perkembangan pada tahapan yang lebih lanjut.

Havighurst: Tugas-tugas Perkembangan


Remaja dan Tugas Perkembangan
Masa remaja merupakan masa "belajar" untuk tumbuh dan berkembang dari anak menjadi dewasa. Masa belajar ini disertai dengan tugas-tugas, yang dalam istilah psikologi dikenal dengan istilah tugas perkembangan. Sama halnya dengan di sekolah, tugas perkembangan ini juga harus diselesaikan oleh seorang remaja dengan baik dan tepat waktu untuk dapat naik ke kelas berikutnya. Istilah tugas perkembangan digunakan untuk menggambarkan harapan masyarakat terhadap suatu individu untuk melaksanakan tugas tertentu pada masa usia tertentu sehingga individu itu dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat. Setiap fase perkembangan, yaitu sejak seorang bayi lahir, tumbuh menjadi dewasa sampai akhirnya mati, mempunyai tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Misalnya, balita berusia dua tahun diharapkan sudah dapat berbicara dan berkomunikasi secara sederhana dengan orang-orang di sekelilingnya. Hal yang sama juga berlaku bagi remaja. Tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh remaja tidak sedikit. Menurut Havighurst, tugas-tugas perkembangan seorang remaja adalah sebagai berikut : 1. Menerima keadaan fisik dirinya sendiri dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif. Walaupun kedengarannya sederhana dan mudah diucapkan, menerima keadaan fisik diri sendiri sering kali menjadi masalah yang cukup besar bagi remaja. Banyak di antara kita yang sulit menerima kenyataan bahwa kita berkulit gelap atau tidak setinggi dan selangsing teman sebaya. Perasaan tidak puas ini kemudian membuat kita selalu dilanda perasaan minder, sehingga malas bergaul apalagi pergi ke pesta. Perasaan ini menutupi kenyataan, misalnya bahwa kita sebetulnya punya sepasang mata yang indah. Untuk mengatasi hal ini, sebaiknya fokuskan perhatian ke kelebihan kita dan jadikan itu sebagai daya tarik. Selain itu, hilangkan dari pikiran apa yang selama ini selalu ditanamkan oleh lingkungan kita, bahwa cewek harus cantik, putih, tinggi, dan langsing untuk dapat disebut sebagai cewek sejati, sedangkan cowok harus berbadan kekar, berbulu, dan bersuara dalam untuk bisa dikatakan jantan. Karena, kalau kita memang enggak punya gen untuk dapat berpenampilan seperti itu, kita cuma jadi gelisah dan enggak puas diri selamanya, sehingga lupa bahwa kita punya banyak potensi diri. 2. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. Usaha untuk mencapai kemandirian emosional bisa membuat remaja melawan keinginan atau bertentangan pendapat dengan orangtuanya. Dengan ciri khas remaja yang penuh gejolak dan emosional, pertentangan pendapat ini sering kali membuat remaja menjadi pemberontak di rumah. Apabila masalah ini tidak terselesaikan, terutama apabila orangtua bersikap otoriter, remaja cenderung untuk mencari jalan keluar di luar rumah, yaitu dengan cara bergabung dengan teman-teman sebaya yang senasib. Sebetulnya, curhat dengan teman sebaya tidak ada salahnya, selama teman sebaya itu bisa membantu mendapatkan solusi yang baik. Namun, sering kali karena yang dihadapi adalah remaja seusia yang punya masalah yang kurang lebih sama dan sama-sama belum berhasil mengerjakan tugas perkembangan yang sama, bisa jadi solusi yang ditawarkan kurang bijaksana. Karena itu, kita perlu selalu ingat bahwa untuk melepaskan diri secara emosional dari orangtua pun, bisa dilakukan dengan meminta dukungan orangtua ataupun orang dewasa yang ada di sekitar kita. Tentunya bukan dengan cara meminta mereka untuk memecahkan masalah kita, tapi lebih kepada memahami keinginan kita untuk dipahami sebagai individu yang beranjak dewasa dan tidak ingin terlalu tergantung lagi kepada mereka. 3. Mencapai suatu hubungan dan pergaulan yang lebih matang antara lawan jenis yang sebaya. Sehingga, remaja akan mampu bergaul secara baik dengan kedua jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Kemampuan untuk mencapai tugas perkembangan ini juga dipengaruhi oleh banyaknya interaksi yang dialami seorang remaja dengan orang-orang dari kedua jenis kelamin. Tapi, hal ini sama sekali tidak berarti bahwa kalau kita sekolah di sekolah khusus cowok atau khusus cewek, kemampuan kita untuk bergaul secara matang dengan jenis kelamin lain akan terganggu. Karena di sekolah kan juga ada guru, petugas perpustakaan dan kebersihan dari jenis kelamin lain, dan kita juga berinteraksi dengan mereka. Selain itu, pergaulan tidak terbatas di sekolah saja. Ketika kita pulang, di rumah dan di lingkungan sekitar juga terdapat kenalan pria dan wanita. Jadi, temen-temen di SMU Tarakanita, SMU Pangudi Luhur, ataupun sekolah khusus lainnya, enggak perlu khawatir. Kemampuan untuk berinteraksi dengan seimbang itu hanya dapat terganggu apabila kita sendiri yang memang menciptakan batasan untuk bergaul. 4. Dapat menjalankan peran sosial maskulin dan feminin. Peran sosial yang dimaksud di sini adalah seperti yang diharapkan masyarakat, dan bergeser sesuai dengan peralihan zaman. Apabila pada zaman dahulu secara sosial dianggap baik bila laki-laki mencari nafkah di luar rumah sedangkan perempuan mengurus rumah tangga, dengan timbulnya kesadaran akan kesetaraan jender sekarang ini tidak harus demikian. Sehingga, yang paling penting untuk dipahami adalah sebagai anggota dari satu jenis kelamin, kita jangan sampai kemudian merasa berhak untuk mensubordinasi atau memperlakukan anggota jenis kelamin lain secara buruk atau semena-mena, baik di publik (masyarakat) maupun domestik (rumah tangga). 5. Berperilaku sosial yang bertanggung jawab. Idealnya, seseorang tentu diharapkan untuk berpartisipasi demi kebaikan atau perbaikan di lingkungan sosialnya, namun bila hal itu belum bisa dijalankan, minimal yang harus dilakukan adalah tidak menjadi beban bagi masyarakat atau lingkungan sosialnya. Karena itulah, remaja yang terlibat tawuran sampai menghancurkan fasilitas umum tentu tidak dapat dianggap telah melampaui tugas perkembangan yang satu ini dengan sukses. 6. Mempersiapkan diri untuk memiliki karier atau pekerjaan yang mempunyai konsekuensi ekonomi dan finansial. Setelah melepaskan diri dari ketergantungan emosional dengan orangtua atau orang dewasa lain, tugas yang menanti remaja adalah juga melepaskan diri dari ketergantungan finansial dari mereka. Karena itulah, belajar bekerja juga merupakan hal yang perlu dilakukan oleh remaja, betapapun kecil penghasilan yang diperoleh. Dengan demikian, diharapkan pada saatnya nanti kita bisa siap terjun dan bekerja di masyarakat. 7. Mempersiapkan perkawinan dan membentuk keluarga. Dengan dilaluinya tugas perkembangan yang telah disebutkan tadi yaitu yang berkaitan dengan kemampuan untuk bergaul dengan sesama maupun lawan jenis, diharapkan pergaulan ini akan dapat membawa ke langkah selanjutnya yaitu untuk memilih pasangan hidup yang sesuai dan mulai mempersiapkan diri membentuk keluarga. 8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku sesuai dengan norma yang ada di masyarakat. Keberhasilan remaja melaksanakan tugas perkembangan ini ditandai dengan, misalnya, kesuksesannya meredam serta mengendalikan gejolak emosi maupun seksualnya sehingga dapat hidup sesuai dengan norma dan etika yang berlaku. Untuk dapat memperoleh konsep diri yang memegang seperangkat nilai ini, remaja dapat memiliki role model atau seseorang yang dijadikan tokoh idola yang tingkah lakunya kemudian diteladani. Tugas-tugas perkembangan ini harus dicapai sebelum seorang remaja melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila remaja tadi gagal dalam memenuhi tugas perkembangannya secara tepat waktu, maka ia akan sulit untuk memenuhi tugas perkembangan fase selanjutnya. Atau, apabila ia gagal melaksanakan tugas perkembangannya pada waktu yang tepat, maka ia akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya di waktu yang lain, atau melaksanakan tugas perkembangan pada tahapan yang lebih lanjut.

Perkembangan Sosial : Buhler

PERILAKU SOSIAL

Sebagai makhluk sosial, seorang individu sejak lahir hingga sepanjang hayatnya senantiasa berhubungan dengan individu lainnya atau dengan kata lain melakukan relasi interpersonal. Dalam relasi interpersonal itu ditandai dengan berbagai aktivitas tertentu, baik aktivitas yang dihasilkan berdasarkan naluriah semata atau justru melalui proses pembelajaran tertentu. Berbagai aktivitas individu dalam relasi interpersonal ini biasa disebut perilaku sosial.
Krech et. al. (1962:104-106) mengungkapkan bahwa untuk memahami perilaku sosial individu, dapat dilihat dari kecenderungan-kecenderungan ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri dari : (1) Kecenderungan Peranan (Role Disposition); yaitu kecenderungan yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki seorang individu, (2) Kecenderungan Sosiometrik (Sociometric Disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan dengan kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain, dan (3) Ekspressi (Expression Disposition), yaitu kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi diri dengan menampilkan kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion).
Lebih jauh diuraikan pula bahwa dalam kecenderungan peranan (Role Disposition) terdapat pula empat kecenderungan yang bipolar, yaitu :
1. Ascendance-Social Timidity,
Ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan diri, dengan arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan malu bila bergaul dengan orang lain, terutama yang belum dikenal.
2. Dominace-Submissive
Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang lain, dengan arah berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain.
3. Social Initiative-Social Passivity
social initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin orang lain, dengan arah yang berlawanannya social passivity yaitu kecenderungan pasif dan tak acuh.
4. Independent-Depence
Independent yaitu untuk bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergantung pada orang lain
Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari kecenderungan peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai, manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut : (1) yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara sosial; (2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya; (3) mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan (4) tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul. Sebaliknya, perilaku sosial individu dikatakan kurang atau tidak memadai manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut : (1) kurang mampu bergaul secara sosial; (2) mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain; (3) pasif dalam mengelola kelompok; dan (4) tergantung kepada orang lain bila akan melakukan suatu tindakan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut merupakan hasil dan pengaruh dari faktor konstitutsional, pertumbuhan dan perkembangan individu dalam lingkungan sosial tertentu dan pengalaman kegagalan dan keberhasilan berperilaku pada masa lampau
Sementara itu, Buhler (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan tahapan dan ciri-ciri perkembangan perilaku sosial individu sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tahap
Ciri-Ciri
Kanak-Kanak Awal ( 0 – 3 )
Subyektif
Segala sesuatu dilihat berdasarkan pandangan sendiri
Kritis I ( 3 - 4 )
Trozt Alter
Pembantah, keras kepala
Kanak – Kanak Akhir ( 4 – 6 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif
Mulai bisa menyesuaikan diri dengan aturan
Anak Sekolah ( 6 – 12 )
Masa Obyektif
Membandingkan dengan aturan – aturan
Kritis II ( 12 – 13 )
Masa Pre Puber
Perilaku coba-coba, serba salah, ingin diuji
Remaja Awal ( 13 – 16 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif
Mulai menyadari adanya kenyataan yang berbeda dengan sudut pandangnya
Remaja Akhir ( 16 – 18 )
Masa Obyektif
Berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemampuan dirinya

Perkembangan karier: Zunker

Perkembangan Karier

Perkembangan karier sangat erat kaitannya dengan pekerjaan seseorang. Keberhasilan seseorang dalam suatu pekerjaan bukanlah sesuatu yang diperoleh secara tiba-tiba atau secara kebetulan, namun merupakan suatu proses panjang dari tahapan perkembangan karier yang dilalui sepanjang hayatnya, mulai dari usaha memperoleh kesadaran karier, eksplorasi karier, persiapan karier hingga sampai pada penempatan kariernya.
Tylor & Walsh (1979) menyebutkan bahwa kematangan karier individu diperoleh manakala ada kesesuaian antara perilaku karier dengan perilaku yang diharapkan pada umur tertentu. Adapun yang dimaksud dengan perilaku karier yaitu segenap perilaku yang ditampilkan individu dalam usaha menyiapkan masa depan untuk memperoleh kematangan kariernya.

Perkembangan Moral : Kohlberg

Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. [1] Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 [2] yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, [3] yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif.[4] Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan,[2] walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.[5][6]
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.[7][8][9] Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya.[4]
[sunting] Tahapan-tahapan
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.[7][8][9] Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini.[10][11] Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.[10][11]
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
( Principled conscience)

[sunting] Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.[12] Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.”[4] Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

[sunting] Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut,[4] karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik…'.[4]
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.

[sunting] Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.[8] Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant[13]). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls[14]). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.[11]

[sunting] Contoh dilema moral yang digunakan
Kohlberg menyusun Wawancara Keputusan Moral dalam disertasi aslinya di tahun 1958.[2] Selama kurang lebih 45 menit dalam wawancara semi-terstruktur yang direkam, pewawancara menggunakan dilema-dilema moral untuk menentukan penalaran moral tahapan mana yang digunakan partisipan. Dilemanya berupa ceritera fiksi pendek yang menggambarkan situasi yang mengharuskan seseorang membuat keputusan moral. Partisipan tersebut diberi serangkaian pertanyaan terbuka yang sistematis, seperti apa yang mereka pikir tentang tindakan yang seharusnya dilakukan, juga justifikasi seperti mengapa tindakan tertentu dianggap benar atau salah. Pemberian skor dilakukan terhadap bentuk dan struktur dari jawaban-jawaban tersebut dan bukan pada isinya; melalui serangkaian dilema moral diperoleh skor secara keseluruhan.[2][9]

[sunting] Dilema Heinz
Salah satu dilema yang digunakan Kohlberg dalam penelitian awalnya adalah dilema apoteker: Heinz Mencuri Obat di Eropa.[5]
Seorang perempuan sudah hampir meninggal dunia akibat semacam kanker. Ada suatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat itu adalah semacam radium yang baru saja ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Obat itu mahal ongkos pembuatannya, tetapi si apoteker menjualnya sepuluh kali lipat ongkos pembuatannya tersebut. Ia membayar $200 untuk radium tersebut dan menjualnya $2.000 untuk satu dosis kecil obat tersebut. Suami dari perempuan yang sakit, Heinz, pergi ke setiap orang yang dia kenal untuk meminjam uang, tapi ia cuma memperoleh $1.000, setengah dari harga obat seharusnya. Ia berceritera kepada apoteker bahwa isterinya sudah sekarat dan memintanya untuk dapat menjual obat dengan lebih murah atau memperbolehkan dia melunasinya di kemudian hari. Tetapi si apoteker mengatakan: “Tidak, saya yang menemukan obat itu dan saya akan mencari uang dari obat itu.” Heinz menjadi putus asa dan membongkar apotek tersebut untuk mencuri obat demi istrinya.Haruskah Heinz membongkar apotek itu untuk mencuri obat bagi isterinya? Mengapa?[5]
Dari sudut pandang teoretis, apa yang menurut partisipan perlu dilakukan oleh Heinz tidaklah penting. Teori Kohlberg berpendapat bahwa justifikasi yang diberikan oleh partisipanlah yang signifikan, bentuk dari repon mereka.[7]

[sunting] Kritik
Salah satu kritik terhadap teori Kohlberg adalah bahwa teori tersebut terlalu menekankan pada keadilan dan mengabaikan norma yang lainnya. Konsekuensinya, teori itu tidak akan menilai secara adekuat orang yang menggunakan aspek moral lainnya dalam bertindak. Carol Gilligan berargumentasi bahwa teori Kohlberg terlalu androsentrik[15] Teori Kohlberg semula dikembangkan berdasarkan penelitian empiris yang menggunakan hanya partisipan lelaki; Giligan berargumentasi bahwa hal tersebut membuat tidak adekuatnya teori itu dalam menggambarkan pandangan seorang perempuan. Walaupun penelitian secara umum telah menemukan tidak adanya perbedaan pola yang signifikan antar jenis kelamin,[10][11] teori perkembangan moral dari Gilligan tidak memusatkan perhatiannya pada norma keadilan. Ia mengembangkan teori penalaran moral alternatif berdasarkan norma perhatian.[15]
Psikolog lain mempertanyakan asumsi bahwa tindakan moral dicapai terutama oleh penalaran formal. Salah satu kelompok yang berpandangan demikian, social intuitionists, mengemukakan bahwa orang sering membuat keputusan moral tanpa mempertimbangkan nilai-nilai seperti keadilan, hukum, hak asasi manusia, dan norma etika yang abstrak. Berdasarkan hal ini, argumen yang telah dianalisis oleh Kohlberg dan psikolog rasionalist lainnya dapat dianggap hanya merupakan rasionalisasi dari keputusan intuitif. Ini berarti bahwa penalaran moral kurang relevan terhadap tindakan moral dibanding apa yang dikemukakan oleh Kohlberg.

Perkembangan Kognitif: Piaget

PIAGET
Bahasa mental LoT yang melibatkan interaksi berbagai sikap proposisional tidak hanya disokong oleh bukti-bukti empiris di tingkat pemikiran abstrak. Akses terbatas proses sentral terhadap jenis sikap proposisional tertentu membawa perkembangan sains kognitif ke warisan filsafat Kantian, bahwa kognisi terdiri dari fakultas-fakultas yang terpisah.
Kemampuan kognitif dianggap mempunyai 'domain' yang 'spesifik'. Cara berpikir, struktur pengetahuan, atau mekanisme akuisisi bahasa pada anak-anak, pemrosesan angka, pengenalan wajah, sampai koordinasi spasial dianggap mempunyai mekanisme yang berbeda-beda.
Tentu hal ini bertentangan dengan asumsi sebelumnya, bahwa manusia mempunyai mekanisme umum yang sama ketika sedang berpikir tentang apapun, entah memproses angka, entah mengenali wajah, entah bernavigasi 3D. Seharusnya, kemampuan berpikir dan komponen-komponennya (memori, atensi, inferensi) dikendalikan oleh proses tunggal. Dalam teori perkembangan yang diusulkan Jean Piaget yang ditopang sebuah teori mirip semantik yang disebut epistemologi genetik, perkembangan pikiran seorang anak bisa diwakili oleh satu level kognitif tertentu saja, sesuai umur si anak.
Piaget memulainya dengan 'adaptasi' dalam artian biologis. Kecerdasan dianggap sebuah organ, fungsional (mempunyai fungsi tertentu seperti sayap burung untuk terbang) dan struktural (mempunyai struktur tertentu seperti sayap burung yang terdiri dari tulang dan bulu-bulu). Tapi untuk organ kecerdasan, kesinambungan fungsional diiringi oleh ketidaksinambungan struktural. Artinya, kesinambungan fungsional adalah brojolan dan pertumbuhan pengetahuan yang diperoleh secara evolusioner, tanpa terputus. Di sisi lain, strukturnya tidak sinambung, diskontinu, karena pengetahuan selalu berubah-ubah bentuk sesuai dengan pertumbuhan spesies (Homo sapiens, tentunya), perkembangan budaya yang mengitarinya, dan perubahan individual itu sendiri.
Fungsi ini akhirnya berwujud mekanisme bagaimana pengetahuan rasional bisa berkembang, dari pengenalan objek-objek nyata hingga mencapai tahap pemahaman saintifik seperti fisika atau kimia. Untuk itu, Piaget menyediakan dua keadaan mental: konservasi yang mempertahankan pengetahuan di level perkembangan tertentu tapi tidak memberi jalan bagi munculnya hal baru; dan kebaruan (novelty) yang memunculkan hal-hal baru akibat keberadaan interkoneksi antara semua pengetahuan yang ada.
Kebaruan tiba-tiba saja muncul, membrojol. 'Ciluk baaaa...!', misalnya, tidak lagi akan membuat bayi terkekeh-kekeh begitu level perkembangannya memungkinkan dia untuk berpikir bahwa yang tidak kelihatan belum tentu menghilang. Sedikit lebih dewasa, begitu seorang anak mengenal konsep angka, cara pandang si anak terhadap dunianya akan berubah, semua bisa dilihat sebagai angka, dan si anak jadi kecanduan menghitung.
Tapi bagaimana jika ternyata konsep angka ini mempunyai mekanisme perkembangan khusus, mendiami domain yang spesifik, mempunyai 'organ menghitung' tertentu? Psikologi perkembangan menghasilkan banyak temuan yang kesimpulannya berlawanan. []

Perkembangan Psikososial Erikson

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ERIKSON

By Ns. Andi yudianto

Menurut Erik Erikson (1963) perkembangan psikososial terbagi menjadi beberapa tahap. Masing-masing tahap psikososial memiliki dua komponen, yaitu komponen yang baik (yang diharapkan) dan yang tidak baik (yang tidak diharapkan). Perkembangan pada fase selanjutnya tergantung pada pemecahan masalah pada tahap masa sebelumnya.
Adapun tahap-tahap perkembangan psikososial anak adalah sebagai berikut:
1. Percaya Vs Tidak percaya ( 0-1 tahun )
Komponen awal yang sangat penting untuk berkembang adalah rasa percaya. Membangun rasa percaya ini mendasari tahun pertama kehidupan. Begitu bayi lahir dan kontakl dengnan dunia luar maka ia mutlak terganting dengan orang lain. Rasa aman dan rasa percaya pada lingkungan merupakan kebutuhan. Alat yang digunakan bayi untuk berhubungan dengan dunia luar adalah mulut dan panca indera, sedangkan perantara yang tepat antara bayi dengan lingkungan dalah ibu. Hubungan ibu dan anak yang harmonis yaitu melalui pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial, merupakan pengalaman dasar rasa percaya bagi anak. Apabila pada umur ini tidak tercapai rasa percaya dengan lingkungan maka dapat timbul berbagai masalah. Rasa tidak percaya ini timbul bila pengalaman untukmeningkatkan rasa percaya kurang atau kebutuhan dasar tidak terpenuhi secara adekwat, yaitu kurangnya pemenuhan kebutuhan fisik., psikologis dan sosial yang kurang misalnya: anak tidak mendapat minuman atau air susu yang edukat ketika ia lapar, tidak mendapat respon ketika ia menggigit dot botol dan sebagainya.
2. Otonomi Vs Rasa Malu dan Ragu ( 1-3 tahun )
Pada masa ini alat gerak dan rasa telah matang dan ada rasa percaya terhadap ibu dan lingkungan. Perkembangan Otonomi selama periode balita berfokus pada peningkatan kemampuan anak untuk mengontrol tubuhnya, dirinya dan lingkungannya. Anak menyadari ia dapat menggunakan kekuatannya untuk bergerak dan berbuat sesuai dengan kemauannya misalnya: kepuasan untuk berjalan atau memanjat. Selain itu anak menggunakan kemampuan mentalnya untuk menolak dan mengambil keputusan. Rasa Otonomi diri ini perku dikembangkan karena penting untik terbentuknya rasa percaya diri dan harga diri di kemudian hari. Hubungan dengan orang lain bersifat egosentris atau mementingkan diri sendiri.
Peran lingkungan pada usia ini adalah memberikan support dan memberi keyakinan yang jelas. Perasaan negatif yaitu rasa malu dan ragu timbul apabila anak merasa tidak mampu mengatasi tindakan yang di pilihnya serta kurangnya support dari orangtua dan lingkungannya, misalnya orangtua terlalu mengontrol anak.
3. Inisiatif Vs Rasa Bersalah ( 3-6 tahun )
Pada tahap ini anak belajar mengendalikan diri dan memanipulasi lingkungan. Rasa inisiatif mulai menguasai anak. Anak mulai menuntut untuk melakukan tugas tertentu. Anak mulai diikut sertakan sebagai individu misalnya turut serta merapihkan tempat tidur atau membantu orangtua di dapur. Anak mulai memperluas ruang lingkup pergaulannya misalnya menjadi aktif diluar rumah, kemampuan berbahasa semakin meningkat. Hubungan dengan teman sebaya dan saudara sekandung untuk menang sendiri.
Peran ayah sudah mulai berjalan pada fase ini dan hubungan segitiga antara Ayah-Ibu-Anak sangat penting untuk membina kemantapan idantitas diri. Orangtua dapat melatih anak untuk menguntegrasikan peran-peran sosial dan tanggungjawab sosial. Pada tahap ini kadang-kadang anak tidak dapat mencapai tujuannya atau kegiatannya karena keterbatasannya, tetapi bila tuntutan lingkungan misalnya dari orangtua atau orang lain terlalu tinggi atau berlebihan maka dapat mengakibatkan anak merasa aktifitasnya atau imajinasinya buruk, akhirnya timbul rasa kecewa dan rasa bersalah.
4. Industri Vs Inferioritas ( 6-12 tahun )
Pada tahap ini anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang akhirnya dan dapat menghasilkan sesuatu. Anak siap untuk meninggalkan rumah atau orangtua dalam waktu terbatas yaitu untuk sekolah. Melalui proses pendidikan ini anak belajar untuk bersaing (sifat kompetetif), juga sifat kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan-peraturan yang berlaku.
Kunci proses sosialisasi pada tahap ini adalah guru dan teman sebaya. Dalam hal ini peranan guru sangat sentral. Identifikasi bukan terjadi pada orangtua atau pada orang lain, misalnya sangat menyukai gurunya dan patuh sekali pada gurunya dibandingkan pada orangtuanya. Apabila anak tidak dapat memenuhi keinginan sesuai standart dan terlalu banyak yang diharapkan dari mereka maka dapat timbul masalah atau gangguan.
5. Identitas Vs Difusi Peran ( 12-18 tahun )
Pada tahap ini terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa. sehingga nampak adanya kontradiksi bahwa dilain pihak ia dianggap dewasa tetapi disisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa standarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan, Peran orangtua sebagai sumber perlindungan dan sumber nilai utama mulai menurun. Sedangkan peran kelompok atau teman sebaya tinggi. Teman sebaya di pandang sebagai teman senasib, patner dan saingan. Melalui kehidupan berkelompok ini remaja bereksperimen dengan peranan dan dapat menyalurkan diri. Remaja memilih orang-orang dewasa yang penting baginya yang dapat mereka percayai dan tempat mereka berpaling saat kritis.

Freud : Dorongan Seksual


Info Intim
LibidoLibido bukanlah istilah asing bagi kebanyakan orang. Libido (hasrat seksual) adalah istilah yang biasa digunakan oleh pendiri psikoanalis, Sigmund Freud, untuk menamakan hasrat atau dorongan seksual. Ia mengatakan bahwa dorongan ini dikarakteristikkan dengan bertumbuhnya secara bertahap sampai puncak intensitas, diikuti dengan penurunan tiba-tiba dari rangsangan.Waktu dia mempelajari proses ini pada pasien-pasiennya, Freud menyimpulkan bahwa berbagai kegiatan seperti makan dan minum, dan juga kencing serta buang hajat juga memiliki pola yang sama. Konsekuensinya, ia menyimpulkan bahwa tindakan ini juga memiliki hasrat seksual juga.Freud juga tertarik pada perkembangan libido, yang ia lihat sebagai dorongan manusia yang paling dasar dan paling kuat. Ia percaya bahwa perkembangan libido dapat dibagi dalam beberapa tahap yang berbeda dan bisa dikenali. Selama bayi, ia melihat bahwa hasrat seksual terfokus di mulut, dan biasanya terwujud dalam kegiatan menyedot. Ia menyebut ini sebagai tahap oral dalam perkembangan hasrat seksual.Dalam tahap tahun kedua dan ketiga dalam kehidupan anak, waktu si anak belajar menggunakan kamar kecil, fokus dari kenikmatan erotis berpindah ke fungsi rektal. Freud menamakan ini tahap anal.Kemudian, pada saat puber, fokus berpindah pada organ seks, suatu periode perkembangan yang ia namakan tahap phallic dalam kedewasaan hasrat seks.Dalam tahap berikut dari perkembangan, dorongan libido berfokus pada orang tua yang berlawanan jenis dan menambahkan warna erotis bagi pengalaman anak itu ke orang tuanya.Ketidak-setujuan orangtua pada dorongan seks yang tidak terkendali dipercaya oleh Freud akan berlanjut pada perkembangan jiwa manusia yang terdiri dari tiga komponen: id, ego dan superego. Id, insting-insting dan dorongan dasar (termasuk libido tapi juga dorongan lain seperti agresif) memberikan energi fisik yang diperlukan untuk melakukan kegiatan.Ego, yang memiliki fungsi eksekutif, mengatur pemenuhan hasrat seks dan hasrat lainnya setiap hari dalam cara yang diterima dan bisa dilakukan di masyarakat. Superego adalah standar sosial dari perilaku yang telah dipahami dan dipelajari, termasuk kesadaran akan perilaku yang dilarang atau melanggar hukum. Dalam keadaan sadar, ada batas yang kuat memisahkan ketiga daerah ini, tapi waktu tidur atau berfantasi, batas ini melemah, memungkinkan kebangkitan ekspresi dari hasrat libido yang biasanya terkendali. Kesadaran akan dorongan dan fantasi yang tidak terkendali bisa membuat seseorang merasa malu atau rasa bersalah secara seksual. Freud percaya bahwa kepribadian seseorang terbentuk di awal kehidupan dan ditentukan bagaimana dorongan dasarnya seperti libido dipuaskan. Kegagalan untuk memuaskan dorongan ini berakibat pada perkembangan pribadi dan kesehatan psikologis seseorang.Generasi berikut dari psikoanalis mempertanyakan karya Freud tentang libido. Beberapa menekankan titik dimana Freud terlalu menekankan perkembangan biologis dan kurang menekankan akibat dari faktor budaya dan sosial dalam perilaku dan praktek seksual.Carl Jung, seorang psikiatris dan psikoanalis dari Swiss, menolak pandangan Freud tentang libido dengan menolak pandangan bahwa pengalaman seksual waktu bayi adalah penentu penting dalam masalah emosi orang dewasa. Jung membuat teori lain tentang libido yang memandang keinginan untuk hidup - dan bukan libido - adalah merupakan dorongan terkuat. Jung menekankan perbedaan antara kepribadian introvert dan ekstrovert. Ekstrovert adalah individu yang keinginannya mengarah kuat (tapi tidak semuanya) keluar ke orang lain dan dunia sekelilingnya. Mereka merasa nyaman di keadaan sosial dimana mereka berada dan sangat bisa berteman. Introvert adalah karakteristik kebalikannya, termasuk mengarahkan perhatian terhadap proses diri dan pikirannya. Mereka biasanya mengandalkan diri sendiri, introspektif, pemikir dan biasanya tidak terlalu nyaman dalam kelompok sosial yang besar. Jung menggunakan istilah libido untuk menunjuk pada energi mental yang bertanggung jawab untuk membuat dan menjaga intro/ekstrovert. Ia tidak percaya seseorang adalah introvert atau ekstrovert, tapi adalah campuran dari keduanya dalam berbagai tingkatan.Banyak ahli psikologis kontemporer memandang libido sebagai potensi dasar manusia yang - walau berakar pada biologi manusia (misalnya, hormon) - terbentuk karena budaya dan pengalaman. Dengan kata lain, dorongan dasar manusia untuk kegiatan reproduksi dan potensi berdasar biologis untuk mendapatkan kenikmatan dari tindakan yang berhubungan dengan kontak fisik (misalnya titik saraf di kulit dan membran mukosa) yang dibentuk oleh pengalaman seseorang dalam pertumbuhannya dalam suatu keluarga dan masyarakat.Bagaimana motivasi seksual distrukturkan, dan melalui bagaimana dorongan seksual dipuaskan, dan apakah tindakan tertentu dinamakan atau dihindari sebagai tidak pantas, semuanya ditentukan oleh pengaruh sosial tersebut.

Silabus Permasalahan Yang Terjadi Pada Kelas X SMA

Standar Kompetensi :
Memiliki kemampuan dalam mengenal dan berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang dilandai budi pekerti luhur, tanggungjawab kemasyarakata dan kewarganegaraan

Kompetensi Dasar :
Mampu mengendalikan emosi

Pelayanan :
Emosi

Uraian Materi Peyanan:
Pengertian emosi

Macam-macam emosi
Cara mengendalikan emosi
Cara mengarahkan emosi

Indikator :
Mendeskripsikan pengertian emosi
Menganalisis macam-macam emosi
Mendemonstasikan cara mengendalikan emosi
menrapkan cara mengarahkan emosi


A. Pengertian Emosi
Marah, menangis meraung-meraung karena mendapat surat skorsing dari guru pembimbing, teratawa, kekesalan, kekcewaan, kegembiraan, keharuan, sedih dan sejenisnya adalah contoh dari luapan emosi. Emosi adalah luapan perasaan yang berkembang sebagai reaksi psikologis-fisiologis dan surut dalam waktu singkat. Emosi bersifat subyektif.
Emosi ada yang positif dan ada yang negative. Emosi yang berifat positif apabila dapat menunjang keberhasilan karier pendidikan maupun karier pekerjaan dan tidak merugikan orang lain. Ukurannya ada dalam batas kewajaran: seperti kemarahan, kegembiraan, keharuan, kecintaan, kesedihan yang wajar-wajar saja.
Contoh emosi positif: Seseorang pimpinan memarahi bawahannya kaenan pekerjaannya terbengkalai. Karena dimarahi pimpinannya, bawahan tersebut bekerja dengan aktif dan lebih berdisiplin sehingga prestasi kerjanya meningkat. Atau dalam keluarga: Orangtua memarahi anaknya agar bek\lajar dengan aktif dan kreatif karena nilai raport banyak nilai merah. Karena dimarahi, anak tersebut memotivasi diri untuk belajar dan mencapai prestasi. Ia kemudian menyadari bahwa belajar itu adalah hala yang menyenangkan.
Selain emosi positif kita juga mempunyai emosi yang negative bersifat merusak karier pendidikan maupun karier pekerjaan serta dapat merugikan orang lain juga dirinya sendiri.. Kriterianya, di luar batas kewajaran: seperti marah-marah tak terkendali, mengamuk, berkelahi, menagis meraung-raung, tertawa keras dan terbahak-bahak.
Contoh emosi yang negative: adalah Eni serasa menidih, ia naik pitam dan dengan geram saat mendemgar perkataan Susi bahwa ia merbut pacarnya. Eni menampar dan menjambak rambut Susi saat itu juga. Eni tidak dapat menahan rasa marahnya. Karena kejadian ini Eni terpaksa harus berhadapan dengan wali kelas dan guru pembimbing serta mendapat point pelanggaran yang jumlahnya tidak sedikit.
Emosi negative yang tak terkendali dan tak terarah dapat berakibat fatal baik bagi lawan maupun pihak kawan; bahkan berakibat kematian. Kecerobohan ini dapat pula diperkarakan. Dalam KUHP piodana pasal 351 dijelaskan:
1) Penganiyaan diancam dengan pidana penjara paling lambat dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Mengingat bertanya sanksi pidana akibat emosi negative maka seharusnya dan selayaknya kita mengendalikan dan mengarahkan emosi kerah positif. Emosi kan merugikan kita bila tidak terkendali dan tak terarahkan. Pengendalian dan pengarahan emosi kerah positif tergantung pada stabilitas emosi yang dimiliki seseoarang. Stabilitas emosi terkait erat dengan sensitifitas yaitu mudah tidaknya seseorang merasa tersentuh, tersinggung, marah, menangis, atau putus asa. Stabilitas emosi seseorang dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan : Tinggi, sedang dan rendah.
B. Cara Mengendalikan Emosi
Emosi sebagai bentuk ungkapan perasaan dapat dikendalika. Pengendalian itu antara lain dengan cara berfikir positif, mengingat tidak ada untungnya orang marah secara tak terkendali bahkan sebaliknya kerugian bagi diri sendiri dan orang lain. Adapun cirri-ciri umum atau tanda-tanda seseorang beremosi tinggi atau sedang meledak kemarahannya ialah:
1) Kepala terasa panas dengan muka berwarna merah padam.
2) Mata melotot, merah dan berkunang-kunang.
3) Telinganya merah.
4) Raut muka kelihatan bengis.
5) Darah seperti mendidih dan denyut jantung bertambah cepat serta tekanan darah tinggi, nafas sedikit saesak dan terengah-engah.
Biasanya orang yang sangat marah mempunyai motif ingin membinasakan yang dimarah. Maka apabila Anda dalam kedadaan marah tempuhlah beberapa cara berikut untuk meredakan kemarahan itu:
a. Ingatlah Allah adalah kasih. Mohonlah kasih dan kesabaran pada-Nya.
b. Ingatlah bahwa kemarahan tak terkendali dapat merugikan orang lain dan diri sendiri: permusuhan dan balas dendam.
c. Orang yang marah biasanya sushu tubuhnya panas maka usahakan untuk mandi atau cuci mukakemudian memakai minyak wangi berbau melati supaya badan, hati dan pikiran terasa dingin dan rileks.
e. jika itu tidak mengubah sussana tinggalkan lokasi tempat anda sedang beremosi sejenak untuk menenagkan pikiran dan badan.
C. Cara Mengarahkan Emosi
Agar kita menjadi lebih dewas dan matang maka emosional kita harus tertata dengan baik. Ada beberapa cara mengarahkan agar emosi kita menjadi positif yaitu:
1) Selalu mawas diri dan interospeksi diri, selalu mengatur keseimbangan rohani dan jasmani, selalu melaksanakan hak dan kewajiban secara seimbang, berdisiplin diri dalam setiap kesempatan waktu
2) Selalu berpikir positif dengan intensi yang benar.
3) Selalu memberi maaf dan pengampunan.
4) Selalu menyelesaikan setiap masalah atau konflik dengan kepala dingin dan musyawarah untuk mufakat.
Semuanya itu tidak akan terjadi dengan sendirinya; tetapi membutuhkan latihan dan ketekunan untuk mewujudkannya di setiap kesempatan dan waktu. Usaha dan latihan yang baik tidak tidak akan pernah berubah kesia-siaan!

Silabus BK SLTP

PROGRAM KEGIATAN LAYANAN BIMBINGAN KONSELING DI SEKOLAH
A. Persiapan
Penyusunan Prosata Jenjang (termasuk Program & Alokasi waktu)
Pembuatan Program Satuan Pelajaran (termasuk LKS)
Penyediaan Fasilitas (ruang BK, meja dan kursi, lemari, papan tulis, dsb)
B. Pengumpulan Data
Observasi (individual dan kelompok)
Interview (langsung dan tidak langsung)
Angket (siswa dan orang tua)
Tes Psikologis (kemampuan, bakat, minat, dsj)
Hasil Prestasi Belajar (nilai ulangan, nilai raport)
Daftar kehadiran dan absensi
Laporan kasus (dari Guru, orang tua, teman, dsb)
C. Layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan
Layanan Orientasi
Layanan Informasi
Layanan Bimbingan Penetapan dan Penyaluran
Layanan Bimbingan Belajar, Karir, Pribadi, Sosial
Layanan Bimbingan Kelompok/Klasikal
Layanan Konseling Individual
Layanan Konseling Kelompok
D. Konsultasi
Guru-guru (formal atau informal)
Orang tua (panggilan dari sekolah atau kunjungan ke rumah)
Psikolog/Psikiater/Dokter, dsb (sifatnya referal)
E. Pertemuan / Rapat
Rapat rutin Bidang BK
Kegiatan Sanggar
Pertemuan Guru BK antar jenjang
F. Pelatihan / Penataran
Dengan tujuan meningkatkan wawasan pengetahuan dan keterampilan Guru BK.
G. Evaluasi dan Tindak lanjut
Membuat laporan 2 bulanan (kepada Ka. Sek. & Ka. Bid.)
Membuat Evaluasi Prosata
Siswa SLTPK 5 sedang melihat poster mengenai AIDS di muka ruang BP
RENCANA KERJA GURU PEMBIMBING
NO.
K E G I A T A N
07
08
09
10
11
12
01
02
03
04
05
06
1
ADMINISTRASI BIMBINGAN
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
A. DATA SISWA
-
X
X
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
B. BUKU KOMUNIKASI
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
1
C. BUKU KEGIATAN SEHARI-HARI
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
1
D. BUKU KASUS
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
1
E. KARTU KONSELING
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
1
F. PETA MURID
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
1
G. PETA KELAS
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
1
H. SOSIOGRAM
-
-
-
-
-
-
X
X
-
-
-
-
2
BIMBINGAN KLASIKAL
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
2
A. PRIBADI
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
B. SOSIAL
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
C. BELAJAR
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
D. KARIER
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
BINA REMAJA
-
X
-
-
X
-
-
-
-
-
-
-
4
KONSELING INDIVIDUAL
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
5
PERTEMUAN DENGAN ORANG TUA MURID
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
6
PERCAKAPAN DENGAN GURU/WALIKELAS/KASEK
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
7
KUNJUNGAN
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
MATERI LAYANAN BIMBINGAN
Layanan bimbingan hendaknya disesuaikan dengan tujuan dan sasaran layanan bimbingan serta karakteristik tujuan dan perkembangan siswa dalam aspek pribadi-sosial, pendidikan serta karier. Disamping itu sebaiknya diperhatikan pula kebutuhan siswa dari masing-masing tingkatan kelas. Namun pengelompokan isi layanan menurut tingkatan kelas, jangan digunakan secara kaku, tetapi harus ditetapkan secara fleksibel. Dengan memperhatikan hal itu, isi layanan bimbingan di SLTP untuk setiap kelas adalah sebagai berikut :
Kelas I
1. Bimbingan Pribadi-sosial :
Memahami ciri-ciri kecakapan diri sendiri (mengenal kekuatan dan kelemahannya).
Mendiskusikan cara-cara mengatur kegiatan sehari-hari.
Membedakan antara hal-hal yang membantu dan berbahaya bagi kesehatan fisik.
Mendiskusikan tanggung jawab siswa di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Menelaah tekanan-tekanan yang dirasakan datang dari kelompok sebaya.
Mengetahui bahwa mendengarkan dan berbicara secara tepat/ sopan membantu memecahkan masalah.
Memberikan contoh bahwa pengalaman di masa lalu berpengaruh pada tindakan saat ini masa yang akan datang.
2. Bimbingan belajar :
Mengembangkan rencana untuk mengatur waktu belajar.
Mengembangkan motivasi yang mendorong agar mampu belajar sebaik mungkin.
Mempelajari cara-cara belajar yang efektif dan efisien.
Menemukan cara-cara menghadapi ulangan/test.
3. Bimbingan karier :
Mengetahui dan menelaah pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan diri sendiri.
Memperkirakan adanya perbedaan macam-macam karier masa kini dan masa yang akan datang.
Menjelaskan bahwa pekerjaan dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Menelaah bermacam-macam cara untuk melihat kemajuan diri.
Kelas II
1. Bimbingan pribadi-sosial :
Mendiskusikan cara seseorang memandang dirinya
Memperkirakan perasaan-perasaan dalam berbagai situasi
Memberikan informasi tentang cara-cara pencegahan yang berkenaan dengan penyalahgunaan obat-obat terlarang.
Mengetahui kebaikan-kebaikan (kualitas positif) dari orang lain yang berbeda latar belakang kebudayaannya
Belajar bertanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari
Memahami peran sebagai anggota keluarga (status anak)
Mengetahui cara mengatasi konflik dengan orang lain
Menjelaskan bahwa memiliki banyak informasi dapat membuat alternatif pemecahan masalah makin baik.
2. Bimbingan belajar :
Menilai pentingnya mengatur keseimbangan antara waktu belajar dengan kegiatan ekstra-kurikuler
Mengenal dan mencari informasi di luar sekolah yang menunjang pencapaian tujuan belajar.
Memahami teknik-teknik belajar dengan menggunakan sumber-sumber baik di dalam maupun di luar sekolah
Mempersiapkan diri untuk menghadapi ulangan/test.
3. Bimbingan karier :
Menjelaskan adanya kesamaan dan perbedaan peran dalam pekerjaan
Mengetahui kebutuhan-kebutuhan secara khusus untuk mencapai kepuasan dalam suatu pekerjaan.
Menilai bahwa “meneladani” itu dapat mempengaruhi pemilihan karier (Tokoh Karier).
Menggambarkan keterampilan yang dimiliki sekarang untuk digunakan pada masa yang akan datang.
Kelas III
1. Bimbingan pribadi-sosial:
Menerima dan menghargai keunikan ciri-ciri kemampuan diri.
Menggambarkan nilai-nilai pribadi, yang dipandang penting.
Mampu bersikap wajar dalam situasi tertekan.
Menghargai kelebihan (hal-hal yang baik) pada orang- orang yang berbeda latar belakang kebudayaannya.
Belajar menelaah batas-batas tanggung jawab diri.
Mengenal kebiasaan sendiri yang mengganggu dalam membentuk hubungan yang efektif dengan sesama.
Menelaah bahwa keterampilan menyelesaikan konflik dapat menunjang kerjasama dalam kelompok
Menelaah akibat dan manfaat alternatif sebelum membuat keputusan
Memahami pergaulan antarteman sejenis dan lawan jenis.
2. Bimbingan belajar :
Mengevaluasi kebiasaan belajar dan merencanakan perubahan bila diperlukan.
Merencanakan pendidikan lanjutan setelah tamat SLTP
Mempelajari cara-cara belajar yang praktis dan sistimatis.
Mempersiapkan diri dalam menghadapi Ebta/Ebtanas.
3. Bimbingan karier :
Menelaah pola-pola karier yang ada dalam diri dan memahami keterbatasannya.
Menelaah bahwa pilihan yang dibuat sekarang dapat mempengaruhi kehidupan di masa depan.
Menelaah dan mendiskusikan macam-macam karier yang ada pada masa kini.
Menelaah keterampilan kemampuan, bakat dan minat sendiri dalam rangka kelanjutan sekolah atau memasuki dunia kerja.
PROGRAM BIMBINGAN KONSELING KE -II
Ditulis pada Desember 13, 2007 oleh Sulaimanzen
Program BK

Program Bimbingan dan Konseling yang berorientasi dan berbasis kompetensi dengan menggunakan pendekatan Life Skill dan Broad Based Education -BBE dibuat untuk dijadikan sebagai pegangan para guru pembimbing agar mampu menyiapkan peserta didik supaya memiliki daya saing dimasa-masa yang akan datang sehingga sekolah yang unggul dapat terealisir dengan baik. Disamping itu juga sebagai wahana pengembangan dan persamaan misi dan visi program sekolah dari segala komponen dan unsurnya.
Program Bimbingan dan Konseling ini berorientasi pada kurikulum berbasis kompetensi yang meliputi program tahunan, semester, bulanan, dan mingguan. Dokumen ini terbagi dalam beberapa bagian dengan format PDF, dengan rincian materi sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
BAB II Wawasan Bimbingan dan Konseling
BAB III Bimbingan dan Konseling dan Standar Kompetensi
BAB IV Penilaian Hasil Layanan Bimbingan Dan Konseling
BAB V Penutup
Lampiran:
Lampiran 1: Program BK
Lampiran 2: Program Kerja Semester (Semester 1)
Lampiran 3: Program Kerja Semester (Semester 2)
Lampiran 4: Program Kerja Bulanan (Semester 1)
Lampiran 5: Program Kerja Bulanan (Semester 2)
Lampiran 6: Program Kerja Mingguan (Semester 1)
Lampiran 7: Program Kerja Mingguan (Semester 2)
Lampiran 8 - 27: Lampiran Kelengkapan Lain
Kategori : Konseling.

Jumat, 04 April 2008

Standar Kompetensi : Memiliki kemampuan dalam mengenal dan berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang dilandai budi pekerti luhur, tanggungjawab kemasyarakata dan kewarganegaraan
Kompetensi Dasar : Mampu mengendalikan emosi
Materi Pelayanan : Emosi
Uraian Materi Peyanan: 1. Pengertian emosi
2. Macam-macam emosi
3. Cara mengendalikan emosi
4. Cara mengarahkan emosi
Indikator : 1. Mendeskripsikan pengertian emosi
2. Menganalisis macam-macam emosi
3. Mendemonstasikan cara mengendalikan emosi
4. menrapkan cara mengarahkan emosi
Nama : Bayu Lesmana Pradipta
N I M : 1060 1300 0696
M. K : Bimbingan Konseling


A. Pengertian Emosi
Marah, menangis meraung-meraung karena mendapat surat skorsing dari guru pembimbing, teratawa, kekesalan, kekcewaan, kegembiraan, keharuan, sedih dan sejenisnya adalah contoh dari luapan emosi. Emosi adalah luapan perasaan yang berkembang sebagai reaksi psikologis-fisiologis dan surut dalam waktu singkat. Emosi bersifat subyektif.
Emosi ada yang positif dan ada yang negative. Emosi yang berifat positif apabila dapat menunjang keberhasilan karier pendidikan maupun karier pekerjaan dan tidak merugikan orang lain. Ukurannya ada dalam batas kewajaran: seperti kemarahan, kegembiraan, keharuan, kecintaan, kesedihan yang wajar-wajar saja.
Contoh emosi positif: Seseorang pimpinan memarahi bawahannya kaenan pekerjaannya terbengkalai. Karena dimarahi pimpinannya, bawahan tersebut bekerja dengan aktif dan lebih berdisiplin sehingga prestasi kerjanya meningkat. Atau dalam keluarga: Orangtua memarahi anaknya agar bek\lajar dengan aktif dan kreatif karena nilai raport banyak nilai merah. Karena dimarahi, anak tersebut memotivasi diri untuk belajar dan mencapai prestasi. Ia kemudian menyadari bahwa belajar itu adalah hala yang menyenangkan.
Selain emosi positif kita juga mempunyai emosi yang negative bersifat merusak karier pendidikan maupun karier pekerjaan serta dapat merugikan orang lain juga dirinya sendiri.. Kriterianya, di luar batas kewajaran: seperti marah-marah tak terkendali, mengamuk, berkelahi, menagis meraung-raung, tertawa keras dan terbahak-bahak.
Contoh emosi yang negative: darah Eni serasa menidih, ia naik pitam dan dengan geram saat mendemgar perkataan Susi bahwa ia merbut pacarnya. Eni menampar dan menjambak rambut Susi saat itu juga. Eni tidak dapat menahan rasa marahnya. Karena kejadian ini Eni terpaksa harus berhadapan dengan wali kelas dan guru pembimbing serta mendapat point pelanggaran yang jumlahnya tidak sedikit.
Emosi negative yang tak terkendali dan tak terarah dapat berakibat fatal baik bagi lawan maupun pihak kawan; bahkan berakibat kematian. Kecerobohan ini dapat pula diperkarakan. Dalam KUHP piodana pasal 351 dijelaskan:
1) Penganiyaan diancam dengan pidana penjara paling lambat dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Mengingat bertanya sanksi pidana akibat emosi negative maka seharusnya dan selayaknya kita mengendalikan dan mengarahkan emosi kerah positif. Emosi kan merugikan kita bila tidak terkendali dan tak terarahkan. Pengendalian dan pengarahan emosi kerah positif tergantung pada stabilitas emosi yang dimiliki seseoarang. Stabilitas emosi terkait erat dengan sensitifitas yaitu mudah tidaknya seseorang merasa tersentuh, tersinggung, marah, menangis, atau putus asa. Stabilitas emosi seseorang dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan : Tinggi, sedang dan rendah.

B. Cara Mengendalikan Emosi
Emosi sebagai bentuk ungkapan perasaan dapat dikendalika. Pengendalian itu antara lain dengan cara berfikir positif, mengingat tidak ada untungnya orang marah secara tak terkendali bahkan sebaliknya kerugian bagi diri sendiri dan orang lain. Adapun cirri-ciri umum atau tanda-tanda seseorang beremosi tinggi atau sedang meledak kemarahannya ialah:
1) Kepala terasa panas dengan muka berwarna merah padam.
2) Mata melotot, merah dan berkunang-kunang.
3) Telinganya merah.
4) Raut muka kelihatan bengis.
5) Darah seperti mendidih dan denyut jantung bertambah cepat serta tekanan darah tinggi, nafas sedikit saesak dan terengah-engah.

Biasanya orang yang sangat marah mempunyai motif ingin membinasakan yang dimarah. Maka apabila Anda dalam kedadaan marah tempuhlah beberapa cara berikut untuk meredakan kemarahan itu:
a. Ingatlah Allah adalah kasih. Mohonlah kasih dan kesabaran pada-Nya.
b. Ingatlah bahwa kemarahan tak terkendali dapat merugikan orang lain dan diri sendiri: permusuhan dan balas dendam.
c. Orang yang marah biasanya sushu tubuhnya panas maka usahakan untuk mandi atau cuci mukakemudian memakai minyak wangi berbau melati supaya badan, hati dan pikiran terasa dingin dan rileks.
e. jika itu tidak mengubah sussana tinggalkan lokasi tempat anda sedang beremosi sejenak untuk menenagkan pikiran dan badan.

C. Cara Mengarahkan Emosi
Agar kita menjadi lebih dewas dan matang maka emosional kita harus tertata dengan baik. Ada beberapa cara mengarahkan agar emosi kita menjadi positif yaitu:
1) Selalu mawas diri dan interospeksi diri, selalu mengatur keseimbangan rohani dan jasmani, selalu melaksanakan hak dan kewajiban secara seimbang, berdisiplin diri dalam setiap kesempatan waktu
2) Selalu berpikir positif dengan intensi yang benar.
3) Selalu memberi maaf dan pengampunan.
4) Selalu menyelesaikan setiap masalah atau konflik dengan kepala dingin dan musyawarah untuk mufakat.
Semuanya itu tidak akan terjadi dengan sendirinya; tetapi membutuhkan latihan dan ketekunan untuk mewujudkannya di setiap kesempatan dan waktu. Usaha dan latihan yang baik tidak tidak akan pernah berubah kesia-siaan!